Di era globalisasi yang semakin pesat, generasi muda Indonesia diharapkan mampu mengadopsi diplomasi budaya sebagai alat untuk mendorong kemajuan bangsa. Kerja keras, kecerdasan, keberanian, serta sikap sopan dan berakhlak menjadi kunci utama dalam menciptakan perubahan yang berkeadilan.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia, Dr. (HC) Drs. Muhammad Jusuf Kalla, mengajak generasi muda untuk memajukan negeri melalui diplomasi budaya positif. Ia menekankan pentingnya nilai-nilai seperti kerja keras, kecerdasan, keberanian, serta sikap sopan dan berakhlak guna mendorong perubahan, kemajuan, dan kesejahteraan yang lebih berkeadilan.
“Di tengah globalisasi saat ini, anak muda harus memiliki pengalaman bertukar budaya dengan mengeksplorasi peluang kerja di negara lain, karena hal tersebut akan mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku,” ujar Jusuf Kalla dalam Orasi Ilmiah dan Kuliah Umum bertajuk Diplomasi Budaya dan Perdamaian, beberapa waktu lalu, di Auditorium Soeganda, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Menurut JK, kelekatan budaya sangat berpengaruh pada cara pandang individu. Ia menuturkan bahwa seseorang yang tidak pernah melihat budaya lain cenderung merasa besar tanpa menyadari luasnya dunia. Ia membandingkan Indonesia dengan Jepang dan Tiongkok yang lebih maju karena memiliki budaya kerja keras yang belum sepenuhnya dimiliki oleh bangsa ini.
JK juga mengomentari fenomena sosial media terkait tagline #kaburajadulu, yang menurutnya memiliki makna positif. “Jika kita hanya tinggal di Indonesia, kita tidak akan tahu bahwa dunia ini terus berubah,” katanya.
Ia mencontohkan pekerja India yang meningkatkan kapasitasnya dengan belajar budaya kerja Amerika, lalu menerapkannya untuk membangun negaranya. Kini, banyak warga India yang memimpin perusahaan teknologi global seperti Twitter (X), Microsoft, dan Meta. Dengan meniru nilai-nilai positif dari budaya negara lain, JK yakin generasi muda Indonesia dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan daya saing di tingkat global.
Sebagai penerima Peace Mujahid Award dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Oktober 2024, JK juga menekankan pentingnya diplomasi budaya sebagai sarana membangun perdamaian. Ia menyoroti perannya dalam meresolusi konflik di Afghanistan dan menegaskan bahwa pemahaman serta penghargaan terhadap budaya lain merupakan kunci menciptakan harmoni serta mencegah konflik antarbangsa. Dalam konteks resolusi konflik, diplomasi budaya berperan penting dalam menciptakan dialog konstruktif, mengurangi ketegangan, serta membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang bertikai. Dengan menekankan pentingnya dialog, peran ulama, serta pendekatan inklusif, JK terus berkontribusi dalam misi perdamaian global, sejalan dengan amanat konstitusi Indonesia untuk menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA, menyoroti keberhasilan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan konflik Ambon dan Poso, yang menjadi rujukan dalam beberapa artikel akademik. Ia menegaskan bahwa perdamaian masih menjadi isu penting dalam studi sosial humaniora. “Kita berharap Indonesia tetap aman dan damai, tetapi terkadang kita melupakan pentingnya ilmu sosial dan humaniora. Saat ini, penguatan di sektor teknologi digital lebih diagungkan, padahal justru aspek sosial humaniora yang berperan penting dalam perdamaian dan kesejahteraan,” ungkap Wening.