Serikat Pekerja Kampus (SPK) mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa dosen-dosen di Indonesia mendapatkan upah yang layak, dengan target minimal Rp10 juta per bulan. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI mengenai pendidikan tinggi, riset, dan teknologi, Ketua SPK Dhia Al Uyun menyatakan bahwa standar gaji ini sejalan dengan yang diterima pegawai di kementerian, di mana Kementerian Keuangan memberikan upah minimal Rp10 juta untuk posisi di bawah S-1.
“Jika tidak memungkinkan untuk Rp10 juta, kami mengusulkan agar gaji dosen minimal tiga kali lipat dari upah minimum di suatu daerah,” tambah Dhia, yang juga merupakan dosen Universitas Brawijaya.
Dhia mengungkapkan hasil riset SPK yang menunjukkan bahwa 61 persen dari 1.200 dosen yang diteliti menerima gaji bersih di bawah Rp3 juta, yang setara dengan upah seorang satpam bank untuk jenjang pendidikan S-2. Untuk dosen di Perguruan Tinggi Swasta (PTS), situasinya lebih parah, dengan gaji yang bahkan di bawah Rp2 juta, lebih rendah daripada tukang bangunan, meskipun mereka juga memiliki gelar S-2.
“Beban kerja dosen tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima. Sekitar 76 persen dosen juga harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi, dosen-dosen di Indonesia kaya karena kerja sampingan, bukan karena profesi sebagai dosen,” tegas Dhia.
Dhia melanjutkan bahwa dampak dari kompensasi yang tidak sesuai ini sangat serius. Sekitar 72,2 persen dosen mengalami kelelahan kerja yang tinggi, dan beberapa bahkan mengalami gangguan mental, bunuh diri, atau meninggal dunia saat bertugas. Tak jarang, ada juga dosen yang terjebak dalam pinjaman online.
Beban kerja dosen mencakup kewajiban mengajar, melakukan penelitian, publikasi, serta promosi kampus. Selain itu, mereka juga harus menangani pekerjaan struktural dan mendokumentasikan semua kegiatan, yang semakin mempersulit proses inovasi dan perubahan dalam dunia pendidikan.
ANTARA