JAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Mirah Midadan Fahmid, menyampaikan pandangan kritis mengenai pentingnya diversifikasi pangan di Indonesia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite II DPD RI pada Senin (15/10/2024).
Dalam rapat tersebut, Mirah menyoroti kebiasaan masyarakat yang cenderung bergantung pada nasi sebagai makanan pokok, meskipun potensi pangan alternatif cukup besar di berbagai daerah, termasuk di NTB.
“Masyarakat Indonesia masih memiliki kebiasaan bahwa jika belum makan nasi, maka dianggap belum makan. Padahal, kita memiliki alternatif pangan pokok lain yang juga bisa diandalkan,” ujar Senator asal NTB itu.
Mirah mengungkapkan bahwa ketergantungan terhadap nasi merupakan salah satu tantangan utama dalam upaya diversifikasi pangan yang telah lama didorong oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurutnya, perlu ada langkah konkret untuk mengubah pola konsumsi masyarakat.
Potensi Besar, Konsumsi Rendah
Mirah menekankan bahwa Nusa Tenggara Barat, dapil yang diwakilinya, merupakan salah satu produsen utama jagung dan sorgum. Sejak tahun 2009, pemerintah daerah NTB telah mengupayakan penanaman sorgum sebagai bagian dari program diversifikasi pangan di wilayah tersebut.
Namun, ia menyayangkan bahwa hasil produksi jagung dan sorgum belum terserap optimal di pasar karena rendahnya konsumsi harian masyarakat terhadap pangan lokal ini. “Meski potensi produksi tinggi, faktanya konsumsi sorgum dan jagung masih sangat rendah. Masyarakat lebih memilih nasi sebagai makanan pokok sehari-hari,” jelasnya.
Perubahan Pola Pikir Masyarakat
Dalam kesempatan itu, Mirah mempertanyakan langkah konkret yang perlu diambil oleh akademisi, pemerintah, dan legislator untuk mengubah perilaku konsumsi masyarakat. Ia menekankan pentingnya menyadarkan masyarakat bahwa nasi bukan satu-satunya pilihan untuk mencukupi kebutuhan pangan.
“Apa yang harus dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat bahwa tidak selalu harus nasi? Kita bisa makan pangan lokal lainnya, seperti sorgum, jagung, atau porang, dan tetap merasa kenyang. Di Papua, misalnya, masyarakat terbiasa makan sagu sebagai makanan pokok,” terang Mirah.
Menurutnya, perubahan perilaku konsumsi masyarakat membutuhkan kebijakan yang kuat dan dukungan dari akademisi dalam memberikan edukasi mengenai manfaat dan potensi pangan alternatif. Hal ini, lanjutnya, perlu menjadi perhatian bersama untuk mendorong perubahan tersebut.
Harapan untuk Langkah Konkret
Menutup pernyataannya, Mirah Midadan Fahmid berharap diskusi dalam RDPU tersebut bisa menghasilkan langkah-langkah konkret untuk mendorong diversifikasi pangan di Indonesia, termasuk mengubah pola pikir masyarakat terkait konsumsi pangan.
“Perubahan perilaku ini sangat penting, dan kita semua memiliki peran dalam memastikan hal ini bisa tercapai, baik dari sisi kebijakan maupun edukasi publik,” pungkasnya.
Ia berharap, melalui sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, diversifikasi pangan di Indonesia dapat lebih dioptimalkan demi ketahanan pangan nasional.