PUTUSKAN PEMILU TERPISAH, MK TERLALU JAUH?

Fokus, Nasional, Politik19 Dilihat

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan adanya pemisahan antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal mendapat kritik dari sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin. Ia menilai MK telah melampaui kewenangannya sebagai pengawal konstitusi dan bertransformasi menjadi pembentuk undang-undang ketiga setelah Presiden dan DPR.

Menurut Khozin, MK seharusnya tetap berada pada peran sebagai negative legislator—yakni hanya membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi, bukan membuat norma baru seperti positive legislator. Ia mempertanyakan arah transformasi MK yang kini tampak menjadi aktor aktif dalam merumuskan kebijakan publik melalui putusan-putusan yang bersifat mengatur.

Pernyataan itu disampaikan Khozin dalam forum diskusi publik yang juga dihadiri Ketua KPU Mochammad Afifuddin, Ketua Bawaslu Rahmat Bagdja, Peneliti Utama BRIN Siti Zuhro, serta Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. Diskusi dibuka oleh Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid.

Khozin menyampaikan keprihatinan terhadap putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2025 yang dinilainya bertolak belakang dengan putusan sebelumnya, yakni Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tahun 2019, MK secara eksplisit menolak menentukan model keserentakan Pemilu karena hal tersebut merupakan wewenang pembentuk undang-undang. Namun pada 2025, MK justru memerintahkan pembagian Pemilu menjadi dua level: nasional dan lokal.

Khozin menilai inkonsistensi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka ruang tafsir yang berbahaya. Ia mengingatkan bahwa putusan MK yang bersifat langsung mengatur teknis pelaksanaan Pemilu memiliki implikasi terhadap konstitusi, terutama menyangkut Pasal 22E dan Pasal 18 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali secara serentak.

Ia juga menegaskan bahwa implementasi putusan MK tersebut tidak bisa serta-merta dilaksanakan pemerintah tanpa penyesuaian terhadap berbagai norma hukum yang ada. Jika dipaksakan, kata Khozin, justru dapat menabrak konstitusi itu sendiri dan memperparah ketidakpastian hukum di sektor pemilu dan tata kelola demokrasi nasional.

Khozin mendorong adanya rekayasa konstitusional (constitutional engineering) jika MK memang akan menjalankan fungsi baru dalam perumusan undang-undang. Menurutnya, perlu ada kejelasan dan penataan ulang terkait tugas pokok dan fungsi MK agar tidak menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak tertentu untuk menggugat atau membatalkan kebijakan secara instan melalui jalur yudisial.

Ia menutup dengan peringatan bahwa pembentukan produk hukum seperti undang-undang adalah proses yang mahal dari sisi waktu, tenaga, dan anggaran. Oleh karena itu, kepastian hukum harus menjadi prioritas utama, dan semua lembaga negara diminta menjaga kewenangannya sesuai mandat konstitusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *