Pemagaran sepanjang 30 kilometer di perairan Laut Tangerang, Provinsi Banten, menjadi sorotan dalam diskusi publik yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL), Kusdiantoro, menegaskan bahwa tindakan ini melanggar aturan karena dilakukan tanpa izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Privatisasi Laut dan Dampak Lingkungan
Tindakan pemagaran laut, menurut Kusdiantoro, mencerminkan upaya ilegal untuk memperoleh hak atas wilayah laut. Praktik ini berpotensi merugikan masyarakat dengan menutup akses publik, merusak keanekaragaman hayati, serta mengubah fungsi ruang laut. Hal ini juga bertentangan dengan konvensi internasional seperti United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).
“Paradigma hukum pemanfaatan ruang laut telah berubah menjadi rezim perizinan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, yang bertujuan menjaga ruang laut sebagai milik bersama,” jelas Kusdiantoro.
Gangguan bagi Nelayan
Laporan dari Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menyebut bahwa pemagaran ini telah mengganggu ribuan nelayan dan pembudidaya ikan di wilayah tersebut. Sejak Juni 2024, pemerintah daerah telah menerima keluhan dan melakukan inspeksi untuk mencari solusi.
Kolaborasi untuk Menjaga Keadilan
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga untuk menangani kasus ini. Jika ditemukan indikasi malpraktik, termasuk penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) secara ilegal di laut, investigasi dapat dilakukan untuk dasar tindakan hukum.
Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI), Rasman Manafi, menambahkan bahwa privatisasi laut bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pengelolaan ruang laut. “Pengawasan harus diperkuat untuk memastikan masyarakat tetap memiliki hak atas ruang laut,” tegasnya.
Langkah Hukum dan Investigasi
Plt. Direktur Penataan Ruang Laut, Suharyanto, menyebut bahwa KKP telah memulai investigasi sejak September 2024. Analisis peta satelit menunjukkan bahwa area tersebut didominasi sedimentasi dan tidak pernah berbentuk darat. Selain itu, kementerian bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN untuk mencabut sertifikat yang terindikasi diterbitkan secara mal administratif.
Kolaborasi untuk Laut yang Berkelanjutan
Diskusi publik ini, yang dihadiri oleh 16 kepala desa, perwakilan nelayan, dan pemangku kepentingan, menjadi langkah penting untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang pentingnya KKPRL. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mendorong sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan ruang laut yang sehat, aman, dan produktif.
Tindakan tegas terhadap pelanggaran ruang laut ini diharapkan mampu mencegah kerugian lebih besar dan menjaga keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan masyarakat pesisir.