KENAIKAN GAJI HAKIM DINILAI BUKAN JAMINAN INTEGRITAS, PUBLIK MINTA REFORMASI TOTAL PERADILAN

Fokus, Hukum8 Dilihat

Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menaikkan gaji hakim hingga 280 persen menuai tanggapan beragam dari kalangan hukum dan masyarakat sipil. Meskipun dipandang sebagai langkah strategis memperkuat sistem peradilan, banyak pihak mengingatkan bahwa upaya ini tak cukup jika tidak dibarengi dengan reformasi menyeluruh dalam tubuh lembaga yudikatif.

Koordinator Penghubung Komisi Yudisial (KY) Jawa Timur, Dizar Al Farizi, menilai bahwa besaran gaji bukan satu-satunya instrumen menjaga profesionalisme hakim. Menurutnya, integritas dibentuk dari lingkungan hukum yang sehat dan sistem pengawasan yang tegas, bukan semata insentif finansial.

“Gaji yang layak penting untuk mencegah penyimpangan, tetapi itu bukan segalanya. Integritas tidak bisa dibeli. Ia tumbuh dari etika, akuntabilitas, dan budaya hukum yang kuat,” ujar Dizar dalam pernyataan resminya, Selasa (1/7/2025).

Langkah Presiden Prabowo tersebut diapresiasi sejumlah pihak, termasuk kalangan advokat. Sekretaris DPC Peradi Surabaya, Zamroni, menyebut bahwa beban etik hakim amat berat sehingga pantas memperoleh imbalan setimpal.

“Hakim bukan hanya pelaksana undang-undang, mereka adalah benteng terakhir keadilan. Tapi perlu diingat, makin besar tanggung jawab negara kepada mereka, makin besar pula ekspektasi publik terhadap keberanian dan netralitas mereka,” katanya.

Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa lonjakan gaji ini hanya akan menjadi langkah kosmetik jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas putusan, khususnya dalam kasus-kasus besar seperti korupsi dan pelanggaran HAM. Satria Unggul Wicaksana, Dosen Hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, menilai bahwa tren vonis ringan terhadap pelaku korupsi belakangan ini harus menjadi perhatian.

“Kalau sekarang gajinya sudah tinggi, maka kita juga ingin melihat keberanian mereka saat memutus perkara besar. Jangan sampai gaji naik, tapi kualitas keadilan tetap stagnan,” ujarnya.

Satria menekankan perlunya transparansi Mahkamah Agung dalam mengukur dampak kenaikan gaji terhadap kinerja hakim dan penurunan pelanggaran etik. Tanpa parameter yang jelas, kebijakan ini berisiko jadi formalitas belaka.

Dalam konteks lebih luas, KY mendorong pendekatan ekosistem untuk membangun peradilan yang adil. Tidak hanya hakim yang harus berbenah, tetapi juga jaksa, polisi, advokat, dan para pencari keadilan.

“Kita ingin menciptakan sistem yang bersih dari hulu ke hilir. Bukan hanya soal gaji, tapi juga pembinaan mental, pendidikan etika, dan transparansi proses,” tegas Dizar.

Dengan pengawasan publik yang semakin kuat, kalangan pengamat berharap kenaikan gaji hakim bukan menjadi “tameng” dari kritik, melainkan menjadi pemicu pembaruan total di sektor peradilan. Pengadilan yang kredibel bukan hanya ditentukan dari pendapatan para aparaturnya, melainkan dari keberanian mereka berdiri di pihak kebenaran—apa pun taruhannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *