Catatan HM Iqbal Miad, MS, Pemimpin Umum
Di dunia yang getarnya ditentukan oleh denting misil, manuver militer, dan meja perundingan yang rapuh, satu hal tetap berdenyut di sudut-sudut rumah: keinginan manusia untuk bersama. Baru-baru ini, Amerika Serikat melancarkan serangan mendadak ke tiga fasilitas nuklir Iran. Serangan yang tak sepenuhnya mendapat restu penuh parlemen itu menampar harga diri Teheran di hadapan lawan bebuyutannya: Israel. Buntutnya bisa ditebak — eskalasi meningkat, proksi Iran di Lebanon, Suriah, Yaman, hingga Gaza bersiaga. Israel membalas, sekutu Amerika merapat, dan benua yang konon belajar dari Perang Dunia tampak siap mengulang neraka dengan senjata pemusnah massal berbasis nuklir di saku masing-masing.
Tesis tulisan ini terang dan tanpa tedeng aling-aling: di tengah udara panas Timur Tengah yang kian beraroma plutonium dan radiasi, sekarang — bukan besok, bukan pekan depan — adalah waktu paling tepat untuk memotret orang-orang terdekat: istri, anak, saudara, tetangga, sahabat. Bukan demi feed media sosial, tetapi demi satu warisan emosional bila segalanya runtuh dalam satu ledakan nuklir yang membuka pintu musim dingin abadi.
Sejarah menjadi saksi bahwa Timur Tengah tak pernah diam. Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2024 mencatat Iran masih menjadi negara dengan program pengayaan uranium terbesar di kawasan, walau berulang kali dikekang lewat Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Israel, di sisi lain, menjalankan kebijakan nuclear opacity — tidak mengakui, tidak menyangkal, tetapi komunitas intelijen Barat meyakini negeri zionis itu punya setidaknya 80-90 hulu ledak aktif.
Krisis terbaru pasca serangan AS ini ibarat korek api dilempar ke ladang kering penuh jerami. International Crisis Group memperingatkan dalam buletin Mei 2025 bahwa milisi proksi Iran — Hezbollah di Lebanon, Houthi di Yaman, milisi Syiah di Irak — siap bergerak. Jalur Gaza panas, Dataran Tinggi Golan kembali riuh artileri. Di seberang, Israel menyusun opsi serangan balasan dan pertahanan rudal Iron Dome ditegakkan nyaris sepanjang hari.
Pertanyaan yang harus kita ajukan: berapa lama sebelum salah satu pihak menekan tombol nuklir? Bulletin of the Atomic Scientists, penjaga simbolik Doomsday Clock, pada Januari 2025 merapatkan jarum jam kiamat ke 90 detik sebelum ‘tengah malam’. Ini jarak terpendek sepanjang sejarah sejak 1947, lebih dekat dibanding era Perang Dingin.
Bila itu terjadi, bencana berlapis tak terhindarkan. Studi International Physicians for the Prevention of Nuclear War (IPPNW) 2023 memproyeksikan sebuah bom nuklir berkekuatan 100 kiloton meledak di pusat kota padat seperti Tel Aviv atau Teheran bisa membunuh 1–2 juta orang dalam sekejap, memancarkan radiasi lintas batas, dan melumpuhkan infrastruktur sipil. Lebih parah lagi, partikel debu radioaktif akan menutupi atmosfer, memantulkan sinar matahari, menurunkan suhu global 2–5 derajat Celsius — fenomena yang dikenal sebagai nuclear winter. Letusan Gunung Pinatubo 1991, yang hanya menurunkan suhu 0,5 derajat, sudah membuat panen global kacau. Apa jadinya jika bom nuklir meledak beruntun dan diikuti serangan balasan?
Pada titik itu, mimpi untuk sekadar merapatkan kursi, mengenakan baju terbaik, dan tersenyum di depan kamera hanyalah nostalgia. Sebab peradaban tak lagi punya langit biru. Setiap orang sibuk bertahan di bunker, mencari air bersih, atau menahan lapar di kamp pengungsian lintas benua.
Ironisnya, di hari-hari tanpa dentum nuklir, kebanyakan dari kita justru abai memotret kebersamaan. Statista pada 2024 mencatat, rata-rata orang memotret 1.500–2.000 gambar setahun, tetapi 85% di antaranya hanya menumpuk di ponsel, jarang dicetak atau disusun dalam album fisik. Sebuah studi Journal of Family History 2022 menegaskan, album foto keluarga bukan hanya arsip visual, tetapi ‘jangkar emosi’ yang terbukti menumbuhkan rasa identitas dan ketahanan mental anak di masa krisis.
Itulah sebabnya, di tengah kabar buruk dan sirene perang, tindakan memotret menjadi tindakan waras sekaligus pemberontakan paling tenang terhadap histeria global. Album foto keluarga adalah sepotong damai yang bisa disimpan ketika dunia meledak.
Bayangkan, satu dekade ke depan, entah kita masih di bumi damai atau terpecah jadi reruntuhan radioaktif, satu album foto akan menjadi pengingat: kita pernah tertawa, kita pernah merangkul, kita pernah berdamai di teras rumah.
Kita, warga biasa, tak bisa membatalkan keputusan Pentagon. Tak bisa menahan rudal Israel. Tak punya suara di Majelis Umum PBB. Tetapi kita punya kendali penuh pada satu laci kosong di rumah: laci kenangan. Isilah laci itu dengan potret orang-orang yang kita cintai. Cetak. Simpan. Gandakan di cloud.
Kesimpulannya sederhana tapi mendesak: satu bom nuklir cukup membuat satu benua hancur, beberapa bom nuklir bisa menenggelamkan peradaban. Sebelum kemungkinan itu berubah dari ancaman jadi kenyataan, pegang kamera. Tertawalah di depan lensa. Rengkuh anak-anak, ajak sahabat, rangkul tetangga. Karena bila konflik proksi Iran–Israel–AS berubah jadi balas membalas nuklir, maka satu foto pun akan jadi kemewahan yang mustahil.
Hari ini adalah momen terbaik untuk membekukan damai dalam album keluarga. Esok? Siapa yang bisa jamin masih ada langit biru di atas kepala? ***