Penyakit tuberkulosis (TBC) masih jadi momok yang menakutkan di tanah air. Setiap tahun, lebih dari sejuta orang jatuh sakit. Seratus dua puluh lima ribu di antaranya tak pernah pulang lagi ke rumah—setara satu kota kecil lenyap ditelan bakteri.
Di antara angka-angka suram itu, muncul kabar baik dari ujung barat Ibu Kota: Kota Tangerang menyalakan obor perlawanan. Rabu pekan ini, Kelurahan Jurumudi, Kecamatan Benda, jadi panggung bukti bahwa kerja senyap para kader kesehatan mampu membalik statistik.
Gerakan Bersama Kelurahan Siaga TBC—nama programnya sederhana, tapi dampaknya tak main-main. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, turun langsung memuji cara Kota Tangerang mendeteksi dan memberantas TBC hingga ke gang-gang sempit.
“Musuh kita bukan hanya bakteri, tapi juga stigma. Pasien TBC sering dijauhi padahal sebulan pengobatan rutin saja sudah membuat mereka tidak menular lagi. Kader kita adalah pahlawan yang melawan ketakutan itu,” ujar Dante, Kamis pagi, dalam keterangan resminya.
Angka membuktikan ucapannya tak sekadar retorika. Di kota berpenduduk padat ini, lima orang per seribu penduduk terdeteksi mengidap TBC—angka yang masih tinggi, tapi cakupan pengobatannya menembus 92 persen tuntas sembuh.
Bagaimana bisa? Tangerang tak hanya bergantung pada gedung puskesmas atau dokter spesialis. Mereka menaruh kepercayaan pada ribuan kader: relawan kesehatan yang mengetuk pintu rumah, mendengar keluh kesah, mengantar pasien berobat, hingga memastikan obat habis tak bersisa di botol.
Hariqo Wibawa Saputra dari Kantor Komunikasi Kepresidenan menegaskan, langkah Tangerang sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto: tak mau satu pun warga Indonesia gugur sia-sia karena penyakit lama yang seharusnya bisa diobati gratis.
“Kalau dihitung, lebih dari 15 orang meninggal setiap jamnya karena TBC. Ini soal kehilangan tenaga kerja, kehilangan orang tua, kehilangan anak-anak masa depan. Jadi penanganan TBC adalah urusan menjaga sumber daya bangsa,” kata Hariqo.
Pemerintah lewat Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) menjanjikan layanan gratis dari skrining sampai obat terakhir. Masalahnya, tanpa ujung tombak di lapangan, fasilitas itu hanya tinggal papan nama di puskesmas.
Maka kader TBC pun naik pangkat jadi ujung tombak. Di Tangerang, mereka tak sekadar jadi penunjuk jalan ke rumah sakit. Lewat inovasi Ransel TBC (skrining mandiri di rumah), Asmara TBC (pendampingan pasien sampai sembuh), hingga bedah rumah dan edukasi ke sekolah-sekolah, kader membongkar tembok kebisuan.
Wali Kota Tangerang, Sachrudin, menegaskan bahwa misi membebaskan kota dari TBC bukan hanya soal suntikan antibiotik, tetapi juga menata rumah layak huni, memperbaiki gizi, hingga mendidik warga.
“Kita harus kerja lintas sektor. Kalau orang masih tinggal di rumah lembap, ventilasi buruk, ya TBC akan betah bersarang. Jadi, TBC itu urusan sosial, ekonomi, sampai pendidikan,” kata Sachrudin, optimistis.
Kini, dari Kelurahan Jurumudi, semangat ‘Bersama Membangun Kota, Bebas dari TBC’ diharap menular ke 514 kabupaten/kota lain di Nusantara.
Sebagai penutup, Kemenkes menyebarkan Lembar Balik TBC—poster bergambar sederhana yang jadi senjata andalan para kader. Murah, simpel, dan ampuh membuka mata warga bahwa TBC bukan kutukan. Asal ditemukan cepat, diobati tuntas, dan masyarakat mau bersama-sama menjaga lingkungannya, penyakit satu ini tak lagi punya tempat hidup.
Tangerang sedang membuktikan: kalau mau, Indonesia pun bisa menang lawan TBC.