INDONESIA KEJAR TARGET VAKSINASI HPV

Pemerintah Indonesia memacu gas penuh memperluas vaksinasi Human Papillomavirus (HPV), taruhan besarnya: menyelamatkan para ibu, anak perempuan, dan generasi penerus dari jerat kanker serviks yang membunuh diam-diam.

Tak main-main. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bicara lantang di Global Cervical Cancer Elimination Forum 2025 di Bali, Selasa lalu. Kanker serviks, kata Budi, menempati kursi pembunuh nomor dua bagi perempuan Indonesia, hanya kalah pamor oleh kanker payudara. Statistiknya meremukkan hati: saban 25 menit satu nyawa perempuan Indonesia lepas gara-gara kanker ini.

Berbekal pengalaman jungkir balik mendistribusikan vaksin COVID-19 ke pelosok, Kemenkes menerapkan strategi serupa. Pada Agustus 2023, program vaksinasi HPV resmi dilepas. Dalam waktu kurang dari dua tahun, lebih dari lima juta remaja perempuan sudah disuntik vaksin penangkal kanker serviks.

Agar tak jadi negara penunggu kiriman vaksin selamanya, Budi menjalin kerja sama dengan Biofarma. Mereka meneken kontrak transfer teknologi, langkah strategis supaya vaksin HPV bisa diracik di pabrik sendiri. “Biofarma menandatangani perjanjian transfer teknologi supaya kami bisa membuat vaksin dalam negeri,” ujar Budi, Rabu (18/6).

Langkah ini krusial. Ketergantungan pada impor vaksin terlalu riskan, apalagi cakupan programnya membentang dari desa terpencil di NTT sampai lorong-lorong padat di Jawa.

Tak hanya vaksinasi. Kemenkes juga menyiapkan senjata kedua: skrining mandiri. Metode deteksi dini ini sedang disempurnakan agar perempuan tak lagi harus menunggu antrian panjang di puskesmas. Dengan alat sederhana, pemeriksaan bisa dilakukan sendiri di rumah.

Formula vaksinasi plus skrining ini diharap menutup celah persebaran kanker serviks. Dunia pun menoleh. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, memuji langkah Indonesia sebagai contoh konkret misi global eliminasi kanker serviks.

“Tak satu pun perempuan seharusnya mati oleh penyakit yang bisa dicegah dan diobati,” kata Tedros. “Kita sudah punya ilmu dan alatnya—tinggal bagaimana komitmen semua pihak untuk bergerak bersama.”

Di atas kertas, jalur eliminasi kanker serviks tampak terpetakan rapi. Di lapangan, medan masih terjal: pengetahuan masyarakat, stigma, infrastruktur kesehatan, dan kesenjangan wilayah menjadi tantangan sehari-hari.

Namun satu hal pasti: perjuangan ini bukan sekadar statistik. Ini soal napas hidup ibu, adik, kakak, dan anak perempuan Indonesia yang layak bebas dari ancaman kematian sunyi bernama kanker serviks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *