Indonesia boleh jumawa mengklaim 79 persen wilayahnya bebas malaria, tapi satu titik rawan di timur Nusantara masih jadi momok: Papua. Di sana, nyamuk pembawa parasit malaria beranak-pinak, menularkan penyakit yang, meski tak setenar COVID-19, tetap merenggut ratusan nyawa saban tahun.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bicara gamblang di forum Asia Pacific Leaders’ Summit on Malaria Elimination ke-9 di Bali, Selasa pekan ini. Menurutnya, Papua adalah medan pertempuran terakhir melawan malaria. “Kalau kita bisa selesaikan malaria di Papua, maka kita bisa selesaikan malaria di seluruh Indonesia,” ujarnya, Kamis (19/6).
Statistiknya menegaskan ucapan Budi. Dari total 514 kabupaten/kota, 476 sudah meraih status eliminasi. Namun lebih dari 93 persen beban kasus nasional masih menempel di tanah Papua — lanskapnya rimba basah, akses jalannya sulit, dan kebiasaan hidup masyarakatnya tak mudah diubah.
Maka, strategi Kemenkes tak lagi setengah hati. Pertama, membersihkan habitat nyamuk — rawa, genangan, semak belukar — agar tak jadi sarang perkembangbiakan. Kedua, membanjiri rumah-rumah dengan kelambu berinsektisida. Berkat sokongan Global Fund, 3,3 juta kelambu digelontorkan rutin ke wilayah rawan.
Langkah ketiga terdengar radikal: Mass Drug Administration alias pemberian obat malaria ke seluruh warga, sehat ataupun sakit. Uji coba di dua kota Papua sukses menekan kasus baru hingga separuhnya. Namun jurus ini membakar dana besar. Kemenkes masih menimbang ulang efisiensi dan daya tahan program ini.
Di hulu, pencegahan ditekan. Di hilir, pengobatan dijamin cepat dan merata. Deteksi dini jadi kunci, sebab telat minum obat bisa berujung nyawa melayang. Meski kematian malaria di Indonesia ‘hanya’ 130 kasus per tahun, angka ini masih tertinggi dibandingkan tiga penyakit nyamuk lainnya: demam berdarah, Japanese encephalitis, dan chikungunya.
Soal nyamuk lintas batas, Budi sadar, upaya Indonesia tak ada gunanya kalau Papua Nugini tak ikut membersihkan sarangnya. Karena itu, forum di Bali memutuskan dua hal: pertama, komitmen seluruh gubernur Papua untuk habis-habisan mengejar eliminasi pada 2030. Kedua, penandatanganan rencana aksi bersama dengan pemerintah Papua Nugini.
“Nyamuk tidak tahu mana batas negara. Jadi kalau mau bebas malaria, tidak bisa jalan sendiri,” kata Budi.
Targetnya jelas: Indonesia ikut memenuhi cita-cita WHO untuk dunia tanpa malaria pada 2030. Di atas kertas, jalan menuju sana ditata rapi. Di lapangan, jalurnya masih berlumpur, licin, dan penuh tantangan alam Papua yang tak gampang dijinakkan.
Pertarungan Indonesia melawan malaria kini tinggal satu nama: Papua. Jika tuntas, gelar Indonesia Bebas Malaria tak lagi sekadar slogan di spanduk peringatan Hari Kesehatan.