Pemerintah menyiapkan penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia secara menyeluruh dan inklusif, dengan melibatkan 113 sejarawan dari berbagai daerah di Tanah Air. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan langkah ini sebagai upaya strategis membangun narasi sejarah yang objektif dan berpijak pada perspektif Indonesia.
Keterangan ini disampaikan Fadli usai menghadiri rapat terbuka dengan Komisi X DPR RI pada Selasa (27/5/2025), yang membahas program prioritas penulisan sejarah nasional.
“Sudah lebih dari dua dekade kita tidak menyusun sejarah secara komprehensif. Terakhir diperbarui pada 2008, dan hanya mencakup hingga masa Presiden Habibie. Kini, kita menulis sejarah dari 1,8 juta tahun lalu sampai era Presiden Joko Widodo,” ujar Fadli.
Proyek penulisan ini, menurut Fadli, bukan inisiatif baru, melainkan lanjutan dari mandat jangka panjang Kementerian Kebudayaan. Rencananya, sejarah nasional akan diterbitkan dalam 10 jilid besar yang mencakup seluruh periode penting, dari masa prasejarah hingga era kontemporer.
Tim penulis terdiri dari para akademisi lintas bidang, mulai dari sejarah, arkeologi, antropologi, hingga arsitektur. Para ahli ini dibagi menurut keahlian periodisasi, dengan masing-masing jilid dikelola oleh tim editor khusus dan diawasi oleh satu editor umum.
“Tujuannya jelas: kita ingin sejarah nasional ditulis berdasarkan sudut pandang kita sendiri, bukan narasi kolonial,” kata Fadli. Ia mencontohkan, istilah seperti “politionele actie” yang digunakan Belanda untuk menyebut agresi militer, bertentangan dengan pandangan nasional yang menganggap peristiwa itu sebagai invasi. Begitu pula dengan penggambaran tokoh seperti Bung Tomo yang kerap dikerdilkan dalam sejarah versi asing.
Dalam revisi ini, sejumlah istilah lama juga akan diperbaharui. Fadli menilai istilah seperti “Orde Lama” tidak merefleksikan realitas politik masa itu karena istilah tersebut lahir dari penilaian rezim berikutnya, bukan dari pemerintahan yang sedang berlangsung saat itu. Pembabakan sejarah nantinya akan merujuk pada sistem pemerintahan dan dinamika demokrasi yang berkembang, seperti masa Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Era Reformasi.
Penulisan ulang juga akan memasukkan temuan arkeologis mutakhir. Lukisan gua di Leang Karangkuang, Sulawesi Selatan, yang berusia hampir 52.000 tahun, misalnya, disebut Fadli sebagai bukti bahwa Indonesia memiliki jejak budaya tertua di dunia. Temuan situs Bongal di Tapanuli yang menunjukkan masuknya Islam pada abad ke-7 M juga akan dimasukkan sebagai bagian penting sejarah awal penyebaran Islam di Nusantara.
Menanggapi kritik atas draft awal yang dinilai kurang memuat pelanggaran HAM, Fadli menjelaskan bahwa draf tersebut belum final. Ia menekankan bahwa buku ini tidak dimaksudkan sebagai laporan investigatif, melainkan sebagai gambaran besar perjalanan bangsa.
“Kalau kita ingin menulis semua detail sejarah, bisa sampai 100 jilid dan tidak akan pernah selesai. Fokus kita adalah membangun narasi sejarah nasional yang konstruktif,” katanya.
Meski demikian, Fadli memastikan bahwa peristiwa penting, termasuk konflik etnis dan keagamaan pada masa Reformasi, tetap akan dicatat. Penekanan tetap pada integritas narasi dan pencapaian nasional sebagai bagian dari upaya memperkuat identitas bangsa.
Penulisan sejarah ini ditargetkan rampung dan siap diluncurkan menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2025. Selain diterbitkan secara luas, buku ini juga akan dijadikan materi resmi dalam kurikulum pendidikan nasional.
“Jangan sampai generasi muda kita tidak tahu siapa Sutan Sjahrir, atau menyangka Soekarno-Hatta itu satu orang. Sejarah adalah fondasi jati diri bangsa,” tutup Fadli Zon.
SUMBER: INFOPUBLIK