Ada yang lebih mendalam dari sekadar hitung-hitungan angka dan laporan audit ketika bicara soal zakat. Di tangan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI, Noor Achmad, zakat menjelma jadi simpul spiritual yang merenda ulang jaring pengaman sosial, terutama bagi perempuan dan anak Indonesia.
Di acara Kolaborasi Keluarga untuk Indonesia, Selasa, 17 Juni 2025, Noor berdiri di podium dengan nada suara setenang doa subuh, tapi isi pidatonya sekeras palu sidang. Ia menggugah hadirin agar berhenti menggantungkan harapan hanya pada pundi-pundi negara. Menurutnya, umat punya ladang sendiri: zakat, infak, sedekah.
“Kalau kita mau jujur, persoalan perempuan dan anak di republik ini bisa selesai dengan model kekuatan masyarakat sendiri. Dana zakat ini kalau dikelola betul, dampaknya bukan cuma nasional — tapi bisa jadi teladan dunia,” katanya, mantap.
Noor berbicara tak sekadar retorik. Di Baznas, dana umat dijaga agar tak cuma berpindah tangan, melainkan juga menularkan energi spiritual. Di tiap rupiah zakat, katanya, terselip doa dan restu yang diam-diam menguatkan pundak keluarga penerima.
“Zakat itu bukan sekadar membagi uang. Ini ritual menabur ketenangan. Ketika kami menyerahkan bantuan, kami titipkan doa. Doa inilah yang membuat hati mustahik tenang, keluarga lebih tahan banting,” ujarnya sambil sesekali menatap barisan undangan.
Baznas, klaim Noor, sudah membentang jaringan sampai pelosok. Dari Aceh sampai Merauke, perempuan digandeng, anak-anak dijaga. Pemberdayaan tak lagi jargon, melainkan rangkaian program berjejaring — mulai pelatihan usaha mikro, beasiswa anak kurang mampu, hingga layanan trauma healing bagi korban kekerasan.
Menariknya, Noor tak segan menyebut dana zakat sebagai “dana ketuhanan”. Frasa yang agak langka di forum resmi, tapi seolah membangunkan kesadaran kolektif: di balik angka, ada restu Ilahi.
“Perempuan-perempuan yang didukung dana zakat, insyaAllah akan lurus dan diluruskan jalannya oleh Allah SWT. Inilah kekuatan spiritual dan sosial yang berjalan beriring,” katanya, disambut angguk-angguk peserta forum.
Tak lupa, ia berterima kasih pada kementerian yang turut menopang gerakan ini — dari Kemenko PMK sampai Kementerian PPPA. Bagi Noor, pengelolaan zakat tak cukup dengan kantor Baznas saja. Ia butuh tangan pemerintah, butuh sentuhan komunitas, dan butuh media yang jujur menulis cerita-cerita kecil dari lapangan.
Di ujung pidato, Noor Achmad menutup dengan kalimat yang lebih mirip penanda bab baru ketimbang penutup.
“Kalau zakat betul-betul kita arahkan ke perempuan dan anak, kita sedang menyiapkan keluarga yang lebih kuat, lebih damai, lebih siap menatap masa depan. Inilah keluarga yang diberkahi. Semoga Indonesia semakin tangguh, adil, dan penuh kasih,” katanya.
Dan sejurus kemudian, forum bubar — tapi gaungnya tinggal lama: zakat bukan hanya soal kewajiban agama. Di tangan orang yang paham, ia bisa jadi senjata rahasia membangun bangsa dari pondasi paling sunyi: rumah tangga.