Catatan Oleh : HM Iqbal Miad, MS, Pemimpin Umum
Konflik terbuka antara Iran dan Israel, dengan potensi keterlibatan kekuatan Barat seperti Amerika Serikat di bawah pengaruh Donald Trump, membuka peluang nyata terjadinya pengerahan senjata nuklir yang dapat memicu pemusnahan global, baik secara langsung melalui kerusakan fisik maupun tidak langsung melalui dampak ekologi, ekonomi, dan kemanusiaan yang tak terpulihkan.
Konflik antara Iran dan Israel telah berlangsung selama beberapa dekade, tetapi eskalasi terbaru menunjukkan peningkatan signifikan dalam intensitas dan frekuensi serangan. Jika konflik ini tidak dapat dikendalikan, kemungkinan penggunaan senjata nuklir meningkat.
Sejak dekade 1980-an, Israel secara tidak resmi diakui memiliki persenjataan nuklir. Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2023 memperkirakan Israel memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir. Di sisi lain, meski Iran secara resmi membantah program nuklir militernya, data Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menunjukkan pengayaan uranium Iran telah melampaui ambang batas perjanjian JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action). Pada 2024, laporan intelijen AS mengindikasikan Iran memiliki kapasitas teknis untuk merakit bom nuklir dalam waktu singkat jika situasi politik memaksanya.
Saat ini, serangan rudal balistik dan drone yang dilancarkan Iran ke Israel, dan serangan balasan Israel ke fasilitas militer Iran, menandakan eskalasi konflik menuju fase “total war”. Berdasarkan pola konflik modern, negara-negara biasanya mengerahkan senjata konvensional terlebih dahulu, menghabiskan “senjata tua” seperti rudal jarak menengah, baru kemudian beralih ke opsi nuklir jika eksistensi rezim terancam. Hal ini diperkuat oleh analisis Pusat Studi Strategis Internasional (CSIS), yang memetakan bahwa 70% rudal jarak menengah Iran berusia lebih dari 15 tahun, dan saat ini diduga sedang dihabiskan dalam gelombang serangan ke wilayah Israel.
Pengerahan senjata nuklir menjadi semakin mungkin apabila sekutu utama Israel, Amerika Serikat, kembali dipimpin Donald Trump yang terkenal dengan kebijakan luar negeri agresif dan dukungan tak terbatas pada Israel. Pada masa kepresidenannya, Trump menarik AS dari JCPOA dan memberlakukan kembali sanksi keras pada Iran, yang justru memicu reaktivasi fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan Fordow. Sikap Trump yang memicu “political brinkmanship” diyakini akan memicu Iran mempertahankan opsi nuklir sebagai senjata pamungkas.
Jika salah satu pihak melepaskan serangan nuklir, efek domino akan terjadi. Pertama, Rusia dan Cina—dua sekutu Iran secara geopolitik—berpotensi terlibat untuk melawan dominasi Barat, memperluas konflik menjadi perang nuklir multipolar. Kedua, dampak radiasi nuklir dan awan debu radioaktif dapat menjangkau lintas benua, seperti yang dikaji dalam simulasi Nuclear Winter Model oleh Universitas Rutgers pada 2022: satu ledakan nuklir di Timur Tengah dapat menurunkan suhu global 1-2 derajat Celsius dan memicu gagal panen di Asia Selatan dan Afrika.
Dalam skenario terburuk, Perserikatan Bangsa-Bangsa diprediksi tidak akan mampu menengahi konflik nuklir lintas negara besar karena veto Dewan Keamanan oleh negara-negara adidaya yang terlibat. Data World Economic Forum (2024) menunjukkan 85% negara di dunia tidak memiliki kapasitas ketahanan pangan mandiri untuk menanggulangi dampak radiasi nuklir jangka panjang. Artinya, konflik nuklir regional di Timur Tengah berpotensi memusnahkan sebagian besar populasi global secara perlahan akibat kelaparan, kontaminasi air, dan runtuhnya ekonomi global.
Melihat fakta persenjataan nuklir Israel, kemampuan teknis nuklir Iran, pola eskalasi senjata konvensional ke senjata pamungkas, serta potensi keterlibatan Trump dan sekutunya, maka kemungkinan pengerahan bom nuklir dalam konflik Iran vs Israel bukanlah sekadar wacana. Dunia internasional harus segera mendorong negosiasi multilateral, memperkuat peran IAEA, serta memfasilitasi de-eskalasi sebelum opsi nuklir menjadi satu-satunya jalan bagi pihak yang terdesak. Jika kegagalan diplomasi terjadi, umat manusia menghadapi risiko nyata pemusnahan global bukan hanya karena ledakan, tetapi juga melalui dampak ekologi dan kemanusiaan yang panjang dan tidak terbalas.
Menurut laporan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), terdapat lebih dari 13.000 senjata nuklir di seluruh dunia pada tahun 2022.
Sebuah studi oleh Universitas Princeton menunjukkan bahwa perang nuklir antara Iran dan Israel dapat menyebabkan kematian hingga 20 juta orang dalam beberapa hari pertama. ***