Jakarta, Kamis pagi, langit bersih tanpa awan. Di Gedung Mahkamah Agung, Presiden Prabowo Subianto melangkah masuk ke ruang utama yang penuh sesak oleh jubah-jubah hitam: 1.451 calon hakim baru siap dikukuhkan. Di tengah suasana khidmat, lagu “Indonesia Raya” menggema, diikuti hymne Mahkamah Agung. Namun, bukan seremoni yang mencuri perhatian hari itu—melainkan pidato Presiden yang lantang dan penuh makna.
“Orang miskin, orang kecil hanya bisa berharap pada hakim yang adil. Orang kuat bisa punya tim hukum. Tapi orang kecil hanya bergantung pada hakim yang tidak bisa disuap,” ujar Prabowo dengan suara bergetar. “Keadilan Indonesia berada di tangan hakim.”
Pengukuhan ini adalah hasil dari program Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Calon Hakim—semacam kawah candradimuka hukum versi negara. Di era reformasi peradilan yang terus bergerak, program ini diklaim sebagai upaya menyaring bukan hanya mereka yang cakap hukum, tapi juga mereka yang berkarakter kuat dan teguh secara moral.
Sebanyak 40 hakim perwakilan menerima Keputusan Presiden secara simbolis dari tangan Prabowo. Sementara ratusan lainnya, duduk tegak dengan mata berbinar, tampak memegang janji dalam diam.
Presiden menegaskan kembali bahwa keberadaan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial adalah pondasi penting negara hukum. Namun di atas semua itu, ia menaruh harap besar pada individu-individu yang akan duduk di kursi pengadilan.
“Kita bisa punya undang-undang yang hebat, sistem yang canggih. Tapi tanpa hakim yang jujur, semua itu tidak berarti,” katanya.
Dari sisi internal Mahkamah Agung, Bambang Hery Mulyono, Kepala Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, menegaskan bahwa program ini bukan sekadar mencetak teknokrat hukum. “Kami ingin melahirkan pemimpin peradilan, yang punya nyali, hati, dan nurani,” ujarnya dalam laporan resminya.
Ia menyebut, kurikulum pendidikan dirancang menyeluruh: mulai dari hukum acara hingga etika profesi, dari kepemimpinan hingga nasionalisme. Tujuannya bukan hanya menciptakan hakim yang paham pasal, tetapi juga mampu menegakkan keadilan di tengah tekanan zaman.
Para hakim muda ini, lanjut Bambang, adalah duta keadilan Indonesia. “Mereka harus berani memutus, tegas, adil, dan tak pandang bulu. Itulah harapan rakyat.”
Hari itu, Gedung Mahkamah Agung tidak hanya menjadi saksi pengukuhan. Ia menjadi ruang pembaptisan moral bagi generasi baru peradilan. Prabowo, yang selama ini dikenal sebagai figur militer dan politik, tampil sebagai pengingat bahwa kekuatan negara tak hanya terletak pada senjata atau kekuasaan—tapi pada tegaknya keadilan di ruang sidang yang sunyi.
Di luar gedung, Jakarta tetap hiruk pikuk. Tapi di dalam, ada harapan senyap yang lahir dari sumpah para calon hakim: menjadi jembatan terakhir bagi rakyat kecil menuju keadilan.