Oleh: HM Iqbal Miad, MS, Pemimpin Umum
“Sagu tidak tumbuh karena dipaksa, tidak panen karena disubsidi. Ia hadir karena alam dan manusia saling percaya.”
Di balik siluet hijau peta Indonesia, ada hamparan liar dan sunyi yang jarang disentuh kebijakan: hutan sagu.
Tersebar di Papua, Maluku, dan sebagian Sulawesi, tanaman ini telah menjadi pondasi pangan lokal sejak sebelum republik berdiri. Ia tumbuh di tanah berlumpur, menyerap asin dan tawar, seperti jiwa masyarakat timur yang sabar dan tangguh.
Sagu sebagai Simbol Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan tidak selalu berarti beras. Di wilayah timur Indonesia, masyarakat telah lama mengandalkan sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Mereka tidak menunggu kiriman dari Jawa. Mereka tidak menggantungkan hidup pada gudang logistik negara. Mereka hidup dari alam yang ditata sendiri.
Menurut data LIPI dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia memiliki lebih dari 1 juta hektar hutan sagu alami, dan sekitar 90% hutan sagu dunia berada di Indonesia, terutama di Papua dan Maluku. Potensi ini setara dengan produksi 25 juta ton pati sagu per tahun—cukup untuk memberi makan separuh penduduk Indonesia jika dimaksimalkan.
Pohon Sederhana, Solusi Global
Sagu adalah tanaman penyintas. Ia tidak memerlukan pupuk sintetis, tidak rewel terhadap musim, dan tidak perlu irigasi mahal. Saat tanaman pangan lain rentan terhadap perubahan iklim, sagu justru tumbuh makin baik di wilayah pasang surut yang cenderung marginal. Organisasi Pangan Dunia (FAO) bahkan menyebut sagu sebagai salah satu pangan masa depan yang paling adaptif terhadap krisis iklim.
Dari aspek sosial budaya, sagu bukan sekadar makanan, melainkan ritus hidup: upacara adat, mahar pernikahan, hingga penanda musim. Masyarakat Sentani, Asmat, Kei, dan Seram menyebutnya dengan istilah penuh hormat. Dalam bahasa Papua, sagu adalah “sio”—yang artinya juga bisa diartikan sebagai “kehidupan”.
Mengapa Tidak Jadi Arus Utama?
Sayangnya, sagu belum mendapat tempat yang layak dalam sistem pangan nasional. Pemerintah masih terlalu bergantung pada beras dan gandum. Padahal, kita mengimpor lebih dari 10 juta ton gandum setiap tahun (BPS, 2023), sementara sagu dibiarkan menjadi pangan “alternatif”, bukan utama.
Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Ketahanan Pangan telah menyebut sagu, namun implementasi masih minim. Industri besar belum banyak yang memproduksi makanan olahan berbasis sagu secara masif, sementara UMKM di Indonesia Timur terkendala akses pasar dan teknologi.
Saatnya Membalik Peta Pangan
Kita butuh revolusi sunyi dari timur. Pemerintah pusat dan daerah harus mendorong:
Diversifikasi pangan berbasis sagu di sekolah, rumah sakit, dan lembaga publik.
Subsidi dan insentif untuk petani dan pelaku UMKM sagu.
Penguatan riset dan inovasi sagu untuk industri makanan olahan dan bioenergi.
Kampanye nasional untuk menghapus stigma bahwa sagu adalah “makanan primitif”.
Papeda, bagea, kapurung, sinole—semua ini bukan hanya makanan, tapi narasi panjang tentang daya hidup, resistensi, dan relasi manusia dengan alam. Kita hanya perlu mendengar kembali suara lembut dari timur yang selama ini tenggelam oleh gaduhnya beras.
Sagu bukan sekadar alternatif. Ia adalah pilar utama yang menunggu diangkat dari lumpur ketidaktahuan. ***