Kontroversi mencuat menyusul dukungan militer terhadap institusi penegak hukum sipil. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, meminta Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AD (KSAD) untuk segera menarik atau membatalkan surat telegram yang menginstruksikan dukungan TNI dalam pengamanan Kejaksaan RI.
Menurut Hendardi, surat tersebut tidak hanya bermasalah secara hukum, tapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan semangat reformasi sektor keamanan.
“Tidak ada kondisi objektif yang menunjukkan bahwa Kejaksaan RI—sebagai institusi sipil—membutuhkan dukungan dari satuan tempur dan bantuan tempur TNI,” ujarnya, Senin (12/5), di Jakarta.
Ia menyebut keputusan tersebut berpotensi melemahkan supremasi hukum dan supremasi sipil, dua pilar utama dalam sistem demokrasi modern. Ia mengingatkan bahwa Kejaksaan adalah bagian dari sistem hukum pidana nasional yang seharusnya tetap berada dalam kerangka sipil, bukan militer.
Dukungan militer terhadap pengamanan kejaksaan, lanjutnya, membuka ruang spekulasi mengenai motif politik di balik semakin terbukanya kerja sama antara kedua institusi tersebut. “Militer tidak seharusnya ditarik masuk ke dalam ranah penegakan hukum sipil,” tegasnya.
Hendardi menilai, kehadiran militer dalam proses hukum sipil justru memperkuat sinyal bahwa militerisme kembali mendapat tempat dalam kelembagaan negara, terutama dalam sektor hukum. Ia juga mengkritik kejaksaan yang dianggap mendorong arah kolaborasi ini.
Daripada terlibat dalam ranah sipil, Hendardi mendorong agar Panglima TNI lebih fokus memperjuangkan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurutnya, regulasi itu sudah tidak lagi sejalan dengan semangat demokrasi dan perlu segera diperbarui.
“UU Peradilan Militer sudah tidak cocok dengan spirit reformasi, supremasi sipil, dan tata kelola pemerintahan demokratis. Fokus TNI semestinya ada di situ, bukan justru memperluas pengaruh ke luar yurisdiksi militer,” tutupnya.
SUMBER: ANTARA