Indonesia saat ini sedang mengalami masa paling panas sepanjang sejarah yang tercatat, sebagai dampak nyata dari krisis iklim global yang diperparah oleh praktik domestik yang tidak berkelanjutan. Fenomena ini bukan hanya persoalan cuaca ekstrem, tetapi juga menjadi ancaman multidimensi terhadap ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan stabilitas ekonomi.
Argumentasi:
1. Bukti Empiris: Rekor Suhu Tertinggi dan Fenomena El Niño
Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa suhu rata-rata di Indonesia selama tahun 2023 dan awal 2024 mengalami anomali signifikan. Menurut BMKG, suhu udara rata-rata pada Oktober 2023 mencapai 28,7°C, menjadikannya bulan terpanas dalam sejarah pemantauan modern di Indonesia. Beberapa kota seperti Surabaya, Semarang, dan Kupang mencatat suhu maksimum harian yang melebihi 38°C.
Fenomena El Niño kuat yang terjadi sejak pertengahan 2023 berkontribusi besar terhadap peningkatan suhu. El Niño menyebabkan penurunan curah hujan, mengeringkan tanah, dan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Namun, para klimatolog menegaskan bahwa suhu ekstrem ini tidak bisa dijelaskan hanya oleh El Niño. Menurut laporan World Meteorological Organization (WMO) tahun 2023, suhu global naik 1,48°C dibandingkan masa pra-industri — mendekati ambang batas kritis 1,5°C yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
2. Dampak Langsung: Krisis Air, Ketahanan Pangan, dan Kesehatan
Cuaca ekstrem di Indonesia telah berdampak serius terhadap ketersediaan air bersih dan produktivitas pertanian. Laporan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada musim kemarau 2023, luas lahan sawah yang mengalami gagal panen mencapai 110.000 hektare, tertinggi dalam satu dekade terakhir. Akibatnya, harga beras melonjak hingga Rp15.000/kg di beberapa wilayah pada awal 2024, dan Indonesia harus kembali membuka kran impor pangan dalam jumlah besar.
Sektor kesehatan pun terpukul. Peningkatan suhu menyebabkan lonjakan kasus heatstroke, ISPA, dan mempercepat penyebaran penyakit berbasis vektor seperti dengue. Data Kementerian Kesehatan mencatat kenaikan kasus demam berdarah hingga 18% dibandingkan tahun sebelumnya. Kota-kota besar mencatat peningkatan kunjungan IGD terkait keluhan dehidrasi dan panas ekstrem, terutama pada kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.
3. Penyebab Struktural: Urbanisasi Tak Terkontrol dan Deforestasi
Panas ekstrem di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor global, tetapi juga diperburuk oleh praktik domestik yang buruk. Urban heat island di kota-kota besar terjadi karena alih fungsi lahan hijau menjadi beton tanpa mempertimbangkan daya serap panas. Jakarta, misalnya, kehilangan lebih dari 25% ruang terbuka hijau dalam dua dekade terakhir.
Sementara itu, deforestasi masih terus terjadi, meski pemerintah mengklaim ada perbaikan. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 203.000 hektare hutan primer tropis pada tahun 2023. Hutan adalah penyeimbang iklim alami yang membantu menyerap karbon dan menjaga suhu mikro wilayah tertentu. Hilangnya tutupan hutan secara langsung meningkatkan suhu regional dan memperburuk kekeringan.
4. Ketimpangan Adaptasi dan Kesiapan Pemerintah
Sayangnya, kebijakan adaptasi iklim di Indonesia masih tertinggal. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam perencanaan daerah, terutama di wilayah yang paling rentan seperti Nusa Tenggara dan Papua. Infrastruktur tahan iklim seperti waduk, sistem irigasi modern, dan ruang publik teduh masih minim.
Sementara itu, program transisi energi masih berjalan lambat. Pada 2024, porsi energi terbarukan baru mencapai 13,1%, jauh dari target 23% pada 2025. Ketergantungan pada batu bara tidak hanya memperparah krisis iklim global, tetapi juga menyebabkan pemanasan lokal akibat emisi tinggi dan polusi udara.
Kesimpulan:
Indonesia saat ini sedang memasuki masa paling panas sepanjang sejarah sebagai akibat langsung dari perubahan iklim global yang dipercepat oleh faktor-faktor domestik seperti deforestasi, urbanisasi masif, dan kebijakan lingkungan yang belum progresif. Panas ekstrem ini tidak bisa lagi dianggap sebagai gejala musiman, melainkan sebagai sinyal bahaya dari krisis sistemik yang mengancam seluruh sendi kehidupan nasional — dari pangan, air, hingga kesehatan publik.
Diperlukan transformasi menyeluruh: mempercepat transisi energi bersih, memperluas ruang hijau kota, menghentikan deforestasi, dan memperkuat adaptasi berbasis komunitas. Jika tidak dilakukan secara serius dan kolektif, masa paling panas ini bukan akhir, melainkan awal dari serangkaian krisis yang lebih besar. Masa depan Indonesia tergantung pada kesediaannya untuk bertindak sekarang.