Seorang pewarta foto Antara diusir, dipukul, dan diancam saat meliput agenda Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dewan Pers dan Komnas HAM diminta turun tangan mengawal kasus ini secara adil dan transparan. Kapolri telah meminta maaf dan berjanji menelusuri insiden tersebut. Iwakum mendesak sanksi tegas terhadap pelaku untuk menjaga kebebasan pers dan demokrasi.
Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengecam keras tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan terhadap jurnalis saat meliput agenda Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, Kota Semarang, Sabtu (5/4/2025).
Dalam insiden tersebut, seorang pewarta foto Berita Antara, Makna Laezar, diusir secara kasar dan dipukul pada bagian kepala oleh ajudan Kapolri. Tak hanya itu, ajudan tersebut juga mengancam sejumlah jurnalis lain dengan kalimat bernada kekerasan.
Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil, menyatakan bahwa insiden tersebut mencoreng prinsip-prinsip demokrasi dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Jurnalis adalah mitra strategis dalam penyampaian informasi kepada publik. Wartawan dilindungi hukum dalam menjalankan tugasnya, dan segala bentuk kekerasan terhadap mereka adalah bentuk pelecehan terhadap demokrasi,” tegas Irfan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (6/4/2025).
Intimidasi di Lokasi Peliputan
Kesaksian di lokasi menyebutkan bahwa ajudan Kapolri bahkan melontarkan ancaman verbal. “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu,” ujar ajudan tersebut di hadapan sejumlah jurnalis yang tengah bertugas.
Tak hanya itu, beberapa wartawan mengaku didorong, diintimidasi, dan bahkan sempat dicekik saat berupaya mendokumentasikan kegiatan Kapolri. Tindakan tersebut menghambat kerja jurnalistik dan menimbulkan trauma psikologis di kalangan jurnalis yang meliput di lokasi.
“Ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi,” ujar Sekretaris Jenderal Iwakum, Ponco. Ia menambahkan, kejadian semacam ini bisa menciptakan efek gentar (chilling effect) yang mengancam independensi pers di masa depan.
Respons Kapolri: Investigasi dan Permintaan Maaf
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat dikonfirmasi mengaku meragukan bahwa pelaku merupakan ajudannya. Ia menyatakan bahwa kemungkinan besar pelaku berasal dari unsur perangkat pengamanan.
“Sepertinya bukan ajudan, namun dari perangkat pengamanan. Segera kami telusuri,” kata Sigit.
Kendati demikian, Kapolri tetap menyampaikan permintaan maaf atas insiden tersebut. “Saya pribadi minta maaf atas insiden yang terjadi dan membuat tidak nyaman teman-teman media,” ujar Sigit.
Kapolri menegaskan bahwa ia berkomitmen untuk menjaga hubungan baik dengan insan pers serta memastikan bahwa seluruh anggota Polri memahami pentingnya menghormati tugas jurnalistik.
Dewan Pers: Kasus Harus Diusut Tuntas
Dewan Pers melalui Wakil Ketua M. Agung Dharmajaya turut menyesalkan kejadian tersebut. Ia menilai, tindakan kekerasan terhadap jurnalis tidak dapat ditoleransi dalam negara demokrasi.
“Kekerasan terhadap wartawan adalah pelanggaran serius. Kami mendorong kepolisian untuk menindak tegas pelaku tanpa pandang bulu,” tegas Agung.
Dewan Pers juga berjanji untuk mengawal kasus ini dan mengupayakan perlindungan maksimal bagi para jurnalis. Menurut Agung, kejadian semacam ini berpotensi memperburuk citra aparat negara dalam menjaga hak asasi manusia dan kebebasan pers di mata publik internasional.
Rekam Jejak Kekerasan terhadap Jurnalis
Kekerasan terhadap jurnalis bukan kali ini saja terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sepanjang 2024 tercatat 76 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuk kekerasan paling dominan adalah intimidasi, penganiayaan fisik, perusakan alat kerja, serta ancaman verbal.
Sebagian besar pelaku kekerasan berasal dari aparat negara, baik dari kepolisian maupun militer, serta dari kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan hasil pemberitaan.
“Ini memperlihatkan betapa pekerjaan jurnalistik di Indonesia masih penuh risiko,” kata Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida.
Perspektif Hak Asasi Manusia
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengingatkan bahwa tindakan kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia.
“Setiap pelanggaran terhadap kerja jurnalistik bukan hanya serangan terhadap individu, tapi juga terhadap hak publik untuk menerima informasi,” ujar Usman.
Ia menegaskan, aparat negara harus menjadi teladan dalam menghormati HAM dan menegakkan nilai-nilai demokrasi, bukan justru menjadi pelaku kekerasan.
Iwakum Desak Sanksi Tegas
Iwakum menilai, permintaan maaf dari Kapolri tidak cukup untuk meredam keresahan di kalangan jurnalis. Organisasi ini mendesak agar dilakukan pemeriksaan internal secara independen dan pemberian sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan.
“Kami ingin proses hukum berjalan transparan dan akuntabel. Tidak boleh ada impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, siapa pun dia,” kata Irfan.
Iwakum juga mengajak seluruh komunitas pers untuk bersolidaritas dalam mengawal kasus ini hingga tuntas. “Ini bukan hanya perjuangan jurnalis, tapi juga perjuangan untuk demokrasi,” imbuhnya.
Langkah-Langkah Lanjutan
Dalam waktu dekat, Iwakum berencana mengajukan laporan resmi ke Divisi Propam Polri serta mengirimkan surat pengaduan ke Komnas HAM dan Dewan Pers. Tujuannya, agar ada pemantauan independen terhadap proses investigasi dan sanksi.
Selain itu, Iwakum juga mengusulkan pembentukan protokol perlindungan jurnalis dalam setiap agenda kenegaraan yang melibatkan aparat pengamanan. “Kita harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa depan,” pungkas Irfan.
SUMBER: RRI