HM IQBAL MIAD, MS
Mengapa sebuah organisasi yang lahir atas nama rakyat justru kerap menebar ancaman kepada rakyat itu sendiri? Mengapa sebagian kelompok yang mengaku membela moral malah merusak ketertiban umum? Di balik atribut, yel-yel perjuangan, dan spanduk besar bertuliskan “kebangkitan bangsa”, ada paradoks besar yang tak bisa diabaikan: banyak Ormas di Indonesia kini tak lagi menjadi pengawal aspirasi, melainkan alat tekanan dan intimidasi. Apa yang salah?
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan berkumpul. Konstitusi menjamin hak warga negara untuk membentuk organisasi kemasyarakatan atau Ormas sebagai wadah partisipasi dalam pembangunan, kontrol sosial, dan pengembangan masyarakat sipil. Namun, dalam praktiknya, banyak Ormas justru menyimpang dari tujuan mulianya. Alih-alih menjadi motor perubahan sosial yang positif, sebagian Ormas di Indonesia malah menampilkan wajah kekerasan, intoleransi, dan oportunisme. Apa yang salah dengan Ormas di Indonesia?
1. Kekosongan Etika dan Orientasi Kepentingan
Salah satu masalah mendasar adalah hilangnya etika dalam gerakan sebagian Ormas. Banyak Ormas yang didirikan bukan untuk mendorong kemajuan masyarakat, melainkan demi kepentingan kelompok sempit atau bahkan individu tertentu. Mereka bergerak bukan karena panggilan ideologis atau kepedulian terhadap isu sosial, melainkan sebagai kendaraan politik atau bisnis. Beberapa Ormas tampak aktif hanya menjelang pemilu atau ketika ada proyek yang bisa dimonetisasi. Ketika kepentingan material mendominasi, maka substansi perjuangan pun menguap.
2. Premanisme Berkedok Organisasi
Fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah menjamurnya Ormas yang menjelma menjadi kelompok premanisme. Mereka sering melakukan intimidasi, sweeping, atau aksi kekerasan dengan mengatasnamakan moralitas atau kearifan lokal. Di berbagai daerah, kita melihat Ormas yang memaksakan kehendak kepada pelaku usaha, menggusur pedagang kaki lima tanpa kewenangan, bahkan memungut “uang keamanan” secara ilegal. Alih-alih menjadi penjaga ketertiban sosial, mereka menjadi ancaman bagi rasa aman warga.
3. Instrumentalisasi Agama dan Identitas
Sebagian Ormas menggunakan simbol-simbol agama atau identitas budaya untuk membungkus agenda politik yang eksklusif. Mereka menyebarkan narasi intoleransi dan permusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan atau pandangan. Ini memperuncing polarisasi sosial dan merusak kohesi nasional. Ironisnya, negara sering kali lambat atau ragu menindak karena takut dianggap anti-agama atau anti-masyarakat adat.
4. Lemahnya Pengawasan dan Regulasi
Kelemahan pengawasan terhadap Ormas menjadi celah penyimpangan yang terus berulang. Meskipun pemerintah Indonesia memiliki Undang-Undang No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas, pelaksanaannya tidak konsisten. Ada Ormas yang dibiarkan bertahun-tahun meski rekam jejak kekerasannya jelas. Di sisi lain, ada pula pembubaran Ormas yang justru menimbulkan kontroversi karena dinilai terlalu politis. Negara tampak ambigu dalam menegakkan hukum terhadap Ormas—tegas kepada yang dianggap berseberangan secara politik, tetapi lunak terhadap yang dekat dengan kekuasaan.
5. Kurangnya Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi Substantif
Masalah lain yang lebih mendasar adalah kurangnya pendidikan politik dan kewargaan. Banyak warga bergabung dengan Ormas tanpa pemahaman kritis tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai pluralisme. Mereka mudah dieksploitasi oleh elite Ormas yang lebih lihai memainkan isu-isu emosional. Akibatnya, Ormas bukan menjadi ruang pendidikan publik, melainkan ajang mobilisasi massa untuk tujuan sempit.
MEMBAYANGKAN ORMAS YANG IDEAL
Yang salah bukan pada ide tentang Ormas itu sendiri, melainkan pada praktik yang tidak sehat akibat lemahnya pengawasan, kurangnya etika, dan matangnya kepentingan sesaat. Indonesia membutuhkan Ormas yang benar-benar menjadi pilar masyarakat sipil—yang kritis terhadap kekuasaan, peduli terhadap keadilan sosial, dan inklusif terhadap keberagaman.
Untuk itu, perlu ada reformasi sistemik: penguatan regulasi yang adil, pendidikan kewargaan yang masif, serta keberanian negara dan masyarakat untuk menegur Ormas yang melenceng dari tujuan konstitusional. Tanpa itu, Ormas hanya akan menjadi simbol kosong dari demokrasi yang cacat. ***