AKTIVIS: SEKOLAH RAKYAT TAK PERLU DIBANGUN DARI NOL, PAKAI SAJA YANG SUDAH ADA

Di tengah geliat pemerintah menggagas Sekolah Rakyat sebagai solusi pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, kritik dan masukan terus berdatangan. Salah satu yang angkat suara adalah aktivis pendidikan dari Tamansiswa, Ki Darmaningtyas. Ia menyarankan agar pemerintah tidak buru-buru membangun sekolah baru, tetapi terlebih dulu memaksimalkan sekolah yang sudah ada di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.

Menurut Darmaningtyas, membangun dari nol akan memakan waktu lama dan anggaran besar. Padahal di lapangan, masih banyak sekolah negeri dan swasta yang justru kekurangan murid. Sekolah-sekolah ini bisa dioptimalkan untuk menjadi pusat pendidikan bagi anak-anak dari keluarga rentan.

“Daripada bangun baru, kenapa tidak manfaatkan saja sekolah yang sudah ada? Banyak kok sekolah yang sepi murid. Tinggal ditambah fasilitas asrama kalau memang butuh tempat tinggal untuk siswa dari daerah terpencil,” ujar Darmaningtyas saat dihubungi InfoPublik, Selasa (15/4/2025).

Ia melihat masalah bukan pada ketersediaan ruang belajar, tetapi pada distribusi dan pemanfaatan yang belum merata. Menurutnya, membangun gedung baru belum tentu menjawab persoalan mendasar pendidikan di Indonesia. Apalagi jika hanya demi label baru yang disebut “Sekolah Rakyat”.

Lebih lanjut, Darmaningtyas menyarankan agar Presiden Prabowo mendorong kebijakan yang lebih simpel namun berdampak luas. Salah satunya dengan menunjuk satu sekolah di setiap daerah sebagai sekolah inklusif yang secara khusus menerima anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Yang penting bukan namanya, tapi manfaat nyatanya.

“Bukan labelnya yang penting, tapi isi dan tujuannya. Kalau memang ingin membantu anak-anak miskin, cukup tunjuk sekolah yang sudah ada, beri dukungan, dan jalankan dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Ia juga menyoroti peran Kementerian Sosial dalam program ini. Menurutnya, urusan pendidikan seharusnya tetap berada di bawah kementerian yang memiliki otoritas dan pengalaman, yakni Kementerian Pendidikan. Jika dikelola oleh lembaga lain, dikhawatirkan terjadi tumpang tindih dalam kebijakan, kurikulum, dan evaluasi.

“Kalau Kementerian Sosial yang pegang, nanti siapa yang tanggung jawab soal kurikulum, guru, dan standar mutu? Itu semua seharusnya tetap di Kementerian Pendidikan,” tegasnya.

Daripada menambah rumit birokrasi, ia menyarankan agar pemerintah fokus pada penguatan lembaga pendidikan yang sudah ada. Menurutnya, banyak sekolah di daerah terpencil yang nyaris kosong, dan itu bisa difungsikan kembali dengan misi sosial yang kuat. Tidak perlu gedung baru, cukup dukungan anggaran, tenaga pengajar, dan fasilitas dasar yang memadai.

“Daripada sekolah terbengkalai, lebih baik difungsikan lagi dengan pendekatan sosial. Didukung penuh, dijadikan tempat belajar yang ramah, gratis, dan layak bagi anak-anak yang tidak punya pilihan lain,” tambahnya.

Gagasan ini dianggap sejalan dengan semangat pemerintahan baru yang ingin memperluas akses pendidikan secara cepat, adil, dan efisien. Tanpa harus menunggu pembangunan fisik selesai, solusi ini memungkinkan lebih banyak anak dari kelompok miskin bisa segera mengenyam pendidikan yang layak.

SUMBER: INFOPUBLIK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *