PN JAYAPURA BEBASKAN PELAKU PENCABULAN ANAK, KY TURUN TANGAN

Fokus, Hukum51 Dilihat

Seorang bocah berusia lima tahun diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh aparat yang seharusnya melindunginya. Namun, ketika harapan akan keadilan menggantung di ruang sidang, majelis hakim justru membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Putusan ini bukan hanya menyisakan luka bagi keluarga korban, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia. Benarkah tidak ada cukup bukti, atau ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik putusan ini?

Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Jayapura yang membebaskan Bripda AFH (20), terdakwa kasus pencabulan anak berusia 5 tahun di Kabupaten Keerom, Papua, menuai kecaman luas dari berbagai pihak. Putusan yang dijatuhkan pada 20 Januari 2025 ini dianggap mencederai rasa keadilan dan menimbulkan pertanyaan mengenai integritas penegakan hukum di Indonesia.​

Latar Belakang Kasus

Kasus ini bermula pada tahun 2022 ketika AFH, seorang anggota kepolisian yang bertugas di Polres Keerom, diduga melakukan pencabulan terhadap seorang anak berusia 5 tahun. Peristiwa tersebut terjadi saat AFH berkunjung ke rumah korban dan memanfaatkan situasi ketika kakak korban meninggalkan mereka untuk membeli mi instan di kios terdekat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut AFH dengan hukuman 12 tahun penjara berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Putusan Pengadilan yang Kontroversial

Namun, Majelis Hakim PN Jayapura yang terdiri dari Hakim Ketua Zaka Talpatty serta Hakim Anggota Korneles Waroi dan Ronald Lauterboom, memutuskan untuk membebaskan AFH dari segala dakwaan. Putusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak terdapat saksi yang mendukung dakwaan tersebut. Keputusan ini memicu kekecewaan mendalam dari keluarga korban dan kuasa hukum.

Reaksi Kuasa Hukum dan Keluarga Korban

Kuasa hukum korban, Dede Gustiawan Pagundun, menyatakan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Ia menilai bahwa fakta-fakta persidangan dan alat bukti yang ada jelas menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan tercela terhadap korban yang masih di bawah umur. Dede menegaskan bahwa vonis bebas ini tidak hanya melukai rasa keadilan korban dan keluarganya, tetapi juga mencederai semangat perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. ​

Kakak korban, Gladis Lailatul Badriyah, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap putusan tersebut. Ia merasa bahwa keputusan tersebut sangat tidak adil bagi adiknya yang harus menanggung trauma akibat kejadian tersebut.

Langkah Hukum Selanjutnya

Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum korban berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk mencari keadilan. Selain itu, mereka juga berencana melaporkan majelis hakim yang menangani perkara ini ke Komisi Yudisial (KY) agar dilakukan pemeriksaan terhadap putusan tersebut. Dede berharap KY dapat meninjau ulang dan memastikan keadilan ditegakkan secara proporsional dan berpihak pada korban. ​

Tanggapan Komisi Yudisial

Komisi Yudisial (KY) melalui Penghubung KY Papua membenarkan telah menerima laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) terhadap majelis hakim PN Jayapura yang membebaskan AFH dalam kasus pencabulan terhadap anak. Laporan tersebut diterima pada Selasa, 18 Maret 2025, di Kantor Penghubung KY Papua, Jayapura. Anggota KY sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menyatakan bahwa laporan tersebut akan diverifikasi kelengkapan persyaratan administrasi dan substansi untuk dapat diregister. KY akan memroses laporan tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku, termasuk melakukan pendalaman dengan menganalisis putusan untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran kode etik hakim. Mukti menambahkan bahwa dalam kasus pelecehan seksual, hakim perlu menggali fakta sebagai alat bukti lain, seperti visum dan lainnya. ​

Kecaman dari Lembaga Bantuan Hukum

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Papua juga mengecam keputusan tersebut. Direktur LBH APIK Jayapura, Nur Aida Duwila, menilai bahwa keputusan ini mengabaikan tuntutan hukum dari pihak korban dan mencerminkan hilangnya pemenuhan hak keadilan bagi anak korban kekerasan seksual. Nur mendorong agar JPU mengajukan kasasi atas putusan PN Jayapura itu guna mendapatkan keadilan bagi korban. ​

Sorotan dari DPR

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, turut menyoroti vonis bebas tersebut. Ia menilai putusan pengadilan dalam kasus pencabulan anak ini menimbulkan keprihatinan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia. Andreas menegaskan bahwa kasus ini mencerminkan bahwa aparat penegak hukum masih belum serius dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak, meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dampak Terhadap Kepercayaan Publik

Keputusan pengadilan yang membebaskan AFH dari dakwaan pencabulan anak tidak hanya menimbulkan kekecewaan di kalangan keluarga korban dan aktivis perlindungan anak, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

SUMBER : ANTARA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *