Kasus eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat dan memicu sorotan tajam dari parlemen. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menilai kasus ini mencerminkan celah besar dalam perlindungan HAM di Indonesia.
JAKARTA — Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira, menanggapi serius laporan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenHAM) yang mengungkap dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus lama yang melibatkan mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Ia menegaskan bahwa kasus ini merupakan cermin lemahnya sistem perlindungan terhadap kelompok rentan di Tanah Air.
“Pengakuan para mantan pemain sirkus tentang eksploitasi anak, kekerasan fisik dan seksual, serta pemisahan anak dari keluarganya menunjukkan bahwa perlindungan HAM di Indonesia masih memiliki lubang besar,” ujar Andreas dalam pernyataan tertulis, Sabtu (9/5/2025).
Pengungkapan kasus bermula dari kesaksian sejumlah perempuan yang pernah menjadi pemain di sirkus OCI. Mereka menceritakan pengalaman pahit selama puluhan tahun beratraksi di berbagai lokasi, termasuk Taman Safari Indonesia. Dalam kesaksiannya, mereka mengaku mengalami perlakuan kejam dan tidak manusiawi sejak usia dini, termasuk dipisahkan dari orang tua untuk dijadikan pemain sirkus — bahkan ada yang mulai sejak masih bayi.
Meski kasus ini pernah dilaporkan pada 1997, proses hukum dihentikan dua tahun kemudian oleh pihak kepolisian. Kini, berdasarkan laporan KemenHAM, muncul dugaan pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui identitas asal-usul, hak memperoleh pendidikan, serta indikasi kekerasan fisik dan seksual yang mengarah pada perbudakan modern.
Menanggapi laporan tersebut, Andreas mendesak pemerintah tidak lagi tinggal diam. Ia menegaskan pentingnya tindakan konkret agar keadilan dapat ditegakkan, mengingat negara pernah gagal menangani kasus ini pada akhir 1990-an.
“Negara tidak boleh gagal dua kali. Pemerintah harus hadir untuk memastikan para korban mendapatkan keadilan,” tegas politikus PDI-Perjuangan tersebut.
Sebagai tindak lanjut, KemenHAM telah mengeluarkan empat rekomendasi penting:
Penyelidikan oleh Komnas HAM
KemenHAM mendorong Komnas HAM untuk menyelidiki lebih jauh apakah terdapat pelanggaran HAM berat di masa lalu serta meminta pertanggungjawaban korporasi atas peristiwa tersebut.
Pemeriksaan oleh Bareskrim Polri
Rekomendasi kedua ditujukan kepada Bareskrim Polri untuk mengusut dugaan tindak pidana berdasarkan keterangan mantan pemain OCI generasi terakhir. Pemeriksaan juga mencakup penentuan waktu berhentinya operasi OCI sebagai dasar penegakan hukum.
Dokumentasi dari Pendiri OCI
KemenHAM juga meminta kepolisian untuk menelusuri dokumen terkait pengambilalihan atau penyerahan anak-anak yang dijadikan pemain sirkus, dengan melibatkan para pendiri dan pemilik OCI.
Pemulihan Korban dan Pembentukan TGPF
Rekomendasi berikutnya melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) guna memberikan layanan pemulihan trauma. Selain itu, KemenHAM menyarankan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) berdasarkan permintaan resmi dari DPR RI.
Komisi XIII DPR RI mendukung penuh pembentukan TGPF. Andreas menyatakan rekomendasi ini diambil setelah mendengar langsung keluhan para eks pemain sirkus dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu.
“Komisi XIII telah merekomendasikan kepada KemenHAM dan Komnas HAM untuk membentuk TGPF sebagai langkah verifikasi serta pembuktian unsur pelanggaran HAM dan kategorinya,” jelas Andreas.
Ia menambahkan, pembentukan TGPF diharapkan menjadi jalan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para korban. Andreas juga mendorong agar seluruh rekomendasi dari KemenHAM dapat segera ditindaklanjuti.
“Dengan langkah ini, kita berharap kasus ini bisa dituntaskan secara menyeluruh dan memberi keadilan yang layak bagi para mantan pekerja OCI,” tuturnya.
Mengenai kemungkinan adanya tindak pidana, Andreas menyebut hal itu perlu menunggu hasil investigasi TGPF. Ia menegaskan bahwa kesimpulan hukum harus berlandaskan temuan dan proses investigasi menyeluruh.
“Kita tunggu hasil kerja TGPF. Dari sanalah nanti bisa ditentukan sejauh mana pertanggungjawaban hukum atas kasus ini,” pungkasnya.