Ada yang berbeda di Dukuh Mlambong, Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Boyolali, setiap H+7 Lebaran. Bukan pawai kendaraan hias, melainkan arak-arakan ratusan sapi dan kambing yang memenuhi jalan kampung. Warga setempat menyebutnya Bakdo Sapi, sebuah tradisi turun-temurun yang digelar setiap Syawalan sebagai wujud syukur dan doa agar hewan ternak tetap sehat dan produktif.
Tradisi unik yang juga dikenal sebagai Bakdo Kupat ini menjadi penutup rangkaian Lebaran di kaki Gunung Merapi. Warga berkumpul sejak pagi, menggelar kenduri di jalan utama kampung. Ketupat, sayur, dan lauk disajikan dalam kebersamaan, sebelum ratusan sapi dan kambing digiring keliling kampung.
Tak sekadar digiring, hewan-hewan itu dihias dan dimuliakan. Leher mereka dikalungi ketupat, bulunya disemprot minyak wangi. “Ini tradisi warisan nenek moyang, selalu kami lestarikan setiap tahun,” kata Jaman, sesepuh desa, Sabtu (19/4/2025).
Ada kepercayaan yang melekat kuat dalam tradisi ini: bahwa pada hari kedelapan Lebaran, Nabi Sulaiman datang untuk memeriksa kondisi hewan ternak. Maka, warga membawa sapi-sapi mereka ke jalan, seolah menyambut “pemeriksaan ilahi”.
Tak hanya sapi, arak-arakan juga dimeriahkan kesenian reog dan pemuda-pemudi mengenakan busana adat. Derap langkah sapi, iringan musik tradisional, dan semangat kolektif warga menjadikan Bakdo Sapi lebih dari sekadar ritual—ini perayaan hidup yang dijalani bersama.
“Ini bentuk rasa syukur kami pada Tuhan atas rezeki dari ternak. Sapi-sapi ini telah menjadi sandaran hidup, terutama bagi peternak susu,” tutur Jaman.
Ada harapan dalam setiap langkah arakan. Dengan dikumpulkannya ternak betina dalam jumlah besar, warga percaya akan meningkatkan peluang birahi dan kehamilan. “Semoga cepat bunting, cepat berkembang biak,” kata seorang peternak sambil menuntun sapinya.
Bakdo Sapi tak hanya memuliakan hewan ternak. Ia memelihara tradisi, menyatukan warga, dan menjadi pengingat bahwa syukur tak selalu harus lewat kata—kadang cukup lewat arak-arakan sapi di pagi hari.
SUMBER : RRI