INI JURUS RAHASIA ALA GOBEL HADAPI PERANG TARIF PRESIDEN TRUMP

 

Isyarat bahaya datang dari Washington. Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi memberlakukan tarif impor baru sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk dari Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Keputusan itu langsung mengguncang perekonomian nasional, mendorong pemerintah dan parlemen untuk bergerak cepat menyusun strategi pertahanan.

“Mari kita jaga dan kita selamatkan Indonesia dari bahaya di depan mata,” seru Anggota Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel, dalam pernyataan resmi di Jakarta, Sabtu (5/4/2025).

Gobel, yang juga mantan Menteri Perdagangan, menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi ancaman serius. Menurutnya, bahkan sebelum perang dagang ini memanas, tanda-tanda deindustrialisasi sudah terlihat dari banyaknya pabrik tutup dan peningkatan jumlah PHK. Ia memperingatkan bahwa kebijakan Trump berpotensi memperburuk kondisi tersebut.

“Kalau ini dibiarkan, pengangguran akan melonjak, dan nilai tukar rupiah makin tertekan,” tegas politisi Fraksi NasDem itu.

Strategi Perlindungan Nasional
Sebagai respons, Gobel mengajukan delapan langkah konkret:

* Mempermudah perizinan investasi, terutama untuk industri berorientasi ekspor.

* Memberikan insentif pajak dan tarif kepada pelaku usaha dalam negeri.

* Memperketat pengawasan pintu masuk untuk mencegah banjirnya barang selundupan.

* Melarang impor tekstil bermotif tradisional seperti batik dan tenun.

* Mempermanenkan larangan impor pakaian bekas.

* Membuka pasar ekspor baru untuk produk Indonesia.

* Melakukan diplomasi aktif dengan pemerintah AS untuk menurunkan tarif.

* Melindungi pasar domestik dari produk asing melalui penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Gobel juga mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai serbuan barang dari Tiongkok dan Vietnam yang bisa mengambil celah akibat perubahan pasar global ini.

“Kita tidak boleh menjadi tempat pembuangan produk dari negara lain,” ujarnya.

Pemerintah Bergerak Cepat
Menanggapi situasi ini, Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa pemerintah telah membentuk satuan tugas khusus untuk merespons kebijakan tarif tersebut.

“Kita tidak tinggal diam. Kami tengah berunding di tingkat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan juga secara bilateral dengan AS untuk mencari solusi terbaik,” kata Zulkifli dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (6/4/2025).

Zulkifli juga menyebutkan bahwa pemerintah sedang menjajaki potensi ekspor ke negara-negara nontradisional seperti Afrika dan Amerika Latin untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian mendorong percepatan program substitusi impor, serta mempercepat penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0 untuk memperkuat sektor manufaktur nasional.

“Kita perlu mempercepat transformasi industri agar lebih berdaya saing,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Dukungan dari Dunia Usaha
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Arsjad Rasjid, juga menyuarakan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan swasta.

“Pengusaha butuh kepastian dan insentif konkret. Pemerintah harus mendukung pelaku industri lokal dengan mempercepat insentif fiskal dan nonfiskal,” kata Arsjad.

Kadin juga mendorong diplomasi dagang yang agresif untuk mempertahankan pangsa pasar Indonesia di Amerika Serikat, terutama untuk sektor tekstil, furnitur, dan produk agrikultur.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menekankan perlunya memperkuat daya saing melalui inovasi dan efisiensi produksi.

“Kalau kita hanya bergantung pada pasar yang itu-itu saja, kita akan terus rentan terhadap gejolak global,” ujar Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani.

Ekonom: Momentum Transformasi
Sejumlah ekonom menilai krisis ini bisa menjadi momentum untuk melakukan reformasi struktural.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada ekspor berbasis komoditas mentah dan memperkuat hilirisasi industri.

“Ini saatnya mempercepat industrialisasi berbasis nilai tambah. Kita butuh insentif untuk industri pengolahan, bukan hanya sektor primer,” kata Bhima.

Bhima juga mengingatkan bahwa dampak perang dagang ini akan terasa dalam beberapa bulan ke depan, terutama terhadap penyerapan tenaga kerja dan daya beli masyarakat.

“Bersiaplah untuk menghadapi gelombang tekanan ekonomi. Pemerintah harus proaktif, bukan reaktif,” tambahnya.

Ancaman dan Peluang Baru
Trump, dalam pidatonya di Gedung Putih, mengklaim bahwa tarif impor baru ini ditujukan untuk “mengoreksi ketidakseimbangan perdagangan” dengan negara-negara yang dinilai terlalu banyak mengambil keuntungan dari pasar AS.

Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa pada 2024, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan AS sebesar US$18 miliar — surplus yang kini menjadi alasan tarif baru diberlakukan.

Meski tampak mengkhawatirkan, sejumlah analis menilai kebijakan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di pasar baru.

“Indonesia bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan negara lain yang juga terkena tarif. Tapi syaratnya, produk kita harus lebih kompetitif, baik dari sisi harga maupun kualitas,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal.

Seruan Persatuan Nasional
Di tengah ketidakpastian ini, Rachmat Gobel menyerukan pentingnya solidaritas nasional.

“Jadikan ini momentum kebangkitan bangsa. Mari bangun spirit cinta Tanah Air dan bersihkan perilaku korupsi serta nepotisme,” seru Gobel menutup pernyataannya.

Dengan tantangan besar di depan mata, Indonesia kini dituntut untuk bergerak cepat, cerdas, dan kompak — demi menjaga ketahanan ekonomi nasional dalam badai global.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *