KEMISKINAN: INDONESIA MENJAWAB BANK DUNIA

Ekonomi, Fokus19 Dilihat

Apakah benar mayoritas warga Indonesia masih tergolong miskin? Perbedaan standar penghitungan membuat jawabannya tidak sesederhana itu.

Pemerintah Indonesia ternyata memiliki tolok ukur tersendiri dalam menilai tingkat kemiskinan di tanah air. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya mengacu pada standar yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang angkanya cenderung lebih rendah.

“Setiap pemerintah memiliki data dan standarnya masing-masing,” ujar Airlangga kepada awak media di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Sebagai informasi, BPS menetapkan garis kemiskinan pada September 2024 sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Jika dihitung per hari, nominal itu nyaris menyentuh Rp20.000 per orang. Standar ini menjadi patokan resmi dalam menentukan siapa saja yang dikategorikan miskin secara statistik di Indonesia.

Namun, gambaran berbeda muncul dari laporan Bank Dunia bertajuk Macro Poverty Outlook edisi April 2025. Lembaga keuangan internasional tersebut menilai bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih berada dalam kategori miskin, bila memakai ambang batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country). Standar tersebut ditetapkan pada angka US$6,85 per kapita per hari atau sekitar Rp115.080 jika dikonversi dengan kurs Rp16.800 per dolar AS.

Dengan menggunakan parameter itu, Bank Dunia memperkirakan bahwa pada 2024 sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia—atau sekitar 171,91 juta dari total 285,1 juta jiwa—masih masuk dalam kelompok miskin.

Meski demikian, lembaga tersebut mencatat tren positif. Angka kemiskinan tersebut menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 61,8 persen. Bahkan, proyeksi untuk tahun-tahun mendatang menunjukkan penurunan yang konsisten: menjadi 58,7 persen pada 2025, lalu turun lagi menjadi 57,2 persen pada 2026, dan mencapai 55,5 persen pada 2027.

Perbedaan angka ini menunjukkan bahwa pemilihan metodologi dan ambang batas sangat memengaruhi bagaimana kemiskinan didefinisikan dan dilaporkan. Pemerintah lebih memilih pendekatan nasional melalui BPS, sementara lembaga internasional seperti Bank Dunia menggunakan standar global yang lebih tinggi.

Dengan demikian, narasi tentang kemiskinan di Indonesia tak hanya soal angka, tetapi juga soal sudut pandang dalam menilai kesejahteraan masyarakat.

SUMBER: INFOPUBLIK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *