UGM PECAT GURU BESAR TERBUKTI LAKUKAN KEKERASAN SEKSUAL

Fokus, Hukum, Nasional3 Dilihat

Universitas Gadjah Mada (UGM) memecat seorang guru besar Fakultas Farmasi berinisial EM setelah dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa. Keputusan tegas ini menandai langkah besar UGM dalam upaya menciptakan ruang kampus yang bebas dari kekerasan seksual.

Pemecatan EM diputuskan berdasarkan hasil pemeriksaan intensif yang dilakukan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM. Rektor UGM menetapkan sanksi pemberhentian melalui Keputusan Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tertanggal 20 Januari 2025.

“Pimpinan UGM telah menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap dari jabatan dosen terhadap EM, sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku,” kata Sekretaris Universitas UGM, Andi Sandi, dalam konferensi pers di Yogyakarta, Minggu (6/4).

Menurut Andi, sanksi ini dijatuhkan setelah EM terbukti melanggar Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus serta kode etik dosen.

Kasus ini bermula dari laporan sejumlah mahasiswa Fakultas Farmasi pada Juli 2024. Satgas PPKS UGM kemudian membentuk Komite Pemeriksa untuk menindaklanjuti aduan tersebut, sebagaimana diatur dalam Keputusan Rektor Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Pemeriksaan berlangsung intensif sejak 1 Agustus hingga 31 Oktober 2024.

Dalam prosesnya, Komite Pemeriksa mendengarkan keterangan korban, saksi, serta terlapor, dan menelaah berbagai bukti pendukung. Sebanyak 13 orang terdiri dari korban dan saksi diperiksa secara terpisah.

“Modus pelaku adalah menggunakan kedok akademik, seperti bimbingan skripsi atau diskusi lomba, yang sering kali dilakukan di luar kampus,” ungkap Andi.

Dibebastugaskan Sejak Juli 2024

Sebelum pemeriksaan rampung, EM lebih dulu dibebastugaskan dari seluruh aktivitas tri dharma perguruan tinggi dan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi UGM pada 12 Juli 2024.

Langkah ini diambil untuk memastikan ruang aman bagi korban serta menjaga kenyamanan civitas akademika.

“Ini bentuk perlindungan sementara sambil menunggu hasil pemeriksaan. UGM terus berkomitmen memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan kepada korban,” ujar Andi.

Status Guru Besar Tunggu Keputusan Kementerian

Meskipun EM sudah diberhentikan dari UGM, status akademik guru besar yang disandangnya masih belum otomatis dicabut. Hal ini karena pengangkatan dan pemberhentian guru besar merupakan kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

“Pengangkatan guru besar dilakukan lewat SK kementerian. Jadi, untuk pencabutannya juga harus lewat keputusan menteri,” jelas Andi.

UGM telah menyiapkan laporan lengkap kasus ini dan akan segera mengirimkannya ke kementerian terkait untuk ditindaklanjuti.

Respon Mahasiswa dan Publik

Kasus ini memicu kemarahan di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas. Aliansi Mahasiswa UGM Bersatu (AMUB) menyampaikan pernyataan mengecam keras tindakan EM dan menuntut UGM serta kementerian bertindak cepat dan transparan.

“Kami mendesak pencabutan status guru besar EM secepat mungkin, dan meminta UGM memperkuat sistem pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus,” ujar Koordinator AMUB, Dira Pramudita.

Sejumlah alumni Fakultas Farmasi juga mendukung langkah tegas UGM. Mereka menyerukan agar kasus ini menjadi momentum reformasi budaya kampus yang selama ini dianggap permisif terhadap pelecehan seksual.

Kebijakan Pencegahan Kekerasan Seksual

Sejak September 2022, UGM telah membentuk Satgas PPKS sebagai tindak lanjut dari Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan tinggi.

Satgas ini diberi mandat untuk menangani laporan kekerasan seksual, mendampingi korban, serta memberikan rekomendasi kebijakan kepada pimpinan universitas.

“Kampus harus menjadi ruang yang aman, nyaman, dan kondusif untuk belajar dan berkarya, bebas dari segala bentuk kekerasan,” tegas Andi.

Sebagai bagian dari komitmen tersebut, UGM menerapkan sejumlah kebijakan internal tambahan, mulai dari pelatihan pencegahan kekerasan seksual untuk dosen dan tenaga kependidikan, hingga integrasi materi kesetaraan gender dalam kurikulum.

Kasus Kekerasan Seksual di Kampus: Fenomena Luas

Kasus kekerasan seksual di kampus bukan hanya terjadi di UGM. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan 2024, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir.

“Masih banyak korban yang takut melapor karena khawatir terhadap stigma atau balas dendam,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin.

Komnas Perempuan mendukung pemberhentian pelaku kekerasan seksual di kampus dan mendorong pemberian sanksi tegas tanpa kompromi.

“Pemecatan pelaku adalah langkah minimal. Upaya pencegahan, pendampingan korban, dan perubahan budaya institusi jauh lebih penting,” tegas Mariana.

Langkah Selanjutnya

UGM berjanji akan terus mengawal proses pencabutan status guru besar EM di tingkat kementerian. Selain itu, universitas akan memperkuat sistem pengawasan internal dan memperbanyak kanal pelaporan yang aman bagi mahasiswa.

“Kami belajar banyak dari kasus ini. Harus ada perubahan mendasar dalam budaya kampus agar tragedi serupa tidak terulang,” ujar Andi.

Dengan langkah ini, UGM berharap bisa menjadi contoh bagi perguruan tinggi lain dalam upaya menciptakan ruang pendidikan yang benar-benar aman dan bermartabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *